CP foundation main website
 
 
 
 

<< Seminar List

Riuh Rendah Kesepian Menggoda Ruang Kota:
Tekstur – tekstur kesepian dan kota
By Undi Gunawan 

[disclaimer]
Berikut merupakan essay ringkas non-akademik mengenai topik kesepian dan kota yang disajikan dalam event Urban/Reflection Seminar: September 6, 2005.

- - -

[start]

Kesepian adalah sebuah gagasan. Kota adalah sbuah gagasan. Sekilas, gagasan mengenai kesepian merupakan residu-sisa-serpihan-‘bug’-virus dari gagasan mengenai kota. Apakah mungkin kesepian muncul dalam kehidupan kota? Ketika hakikat dari gagasan mengenai kota adalah manifestasi spasial fisik dari kumpulan subyek (manusia); kerumunan khalayak dalam berbagai aktivitasnya. Dalam pengalaman dan gagasan kita, kota adalah sebuah ruang, sebuah ruang yang rapat populasinya, rapat bangunannya, padat aktivitasnya, hiruk pikuk secara inderawi, ramai secara visual, berwarna-warni secara cultural. Kota adalah sebuah panggilan kehidupan. Kota adalah gagasan yang menjadi nyata; sebuah wadah spasial dimana subyek bertemu dengan subyek lain, subyek berinteraksi dengan subyek lain. Kota                adalah sebuah gagasan yang menyedot-menyeret-menggoda-memaksa, menyublimkan subyek manusia kepada kondisi kolektif-(alamiah)nya laksana kawanan semut, rayap dan lebah. Kota memberi kesempatan sekaligus membatasi individu dalam relasinya terhadap dorongan kolektif naturalnya. Secara sekilas, adalah tidak mungkin kesepian mendapat tempat dalam kehidupan kota.

Kesepian merupakan ekses dari tekanan-tekanan dan kegelisahan akan kehidupan modern. Kesepian terkadang erat dengan konsep inderawi akan kesunyian. Keramaian berlawanan dengan kesunyian. Kesepian juga dapat identik dengan kesendirian. Hiruk pikuk, dinamika interaksi antar subyek berlawanan dengan kesepian. Kota adalah pasar. Kota adalah kapital. Kesepian dapat diartikan sebagai secara positif, sebagai kualitas yang dikejar, diinginkan. Kesepian diharapkan secara sadar dan sengaja sebagai kualitas yang ingin diperoleh sebagai sebuah pelarian dari keseharian kehidupan kota. Kesepian dalam artian ‘tidak mau diganggu’ oleh yang ‘lain’ terkadang merupakan pemahaman yang netral atau positif. Kesepian, kesendirian, ego dan privasi terkadang diartikan sebagai ‘hak’, reward yang layak diperoleh setelah segala pasang-surut interaksi dan konflik dalam kehidupan social. Gagasan untuk ‘berlibur’ merupakan manifestasi penawaran akan kualitas kesepian, lepas dari keseharian, berjumpa dengan fenomena yang berbeda dengan keseharian, meningalkan kehidupan social dan mengembalikan tingkat tatanan personal terbatas dalam kesatuan anak-gagasan lain yang hendak dibentuk (privat, personal, partner/kekasih, keluarga, teman sehobi, rekan kantor, dll). Kesepian memberi kesempatan untuk menutup akses subyek terhadap public. Kesepian adalah kondisi yang terbentuk dari sebuah pernyataan akan privasi (statement of privacy). Not the “other” subject around me! Aku, kekasihku, keluargaku, kampungkku, sukuku, bahasaku, negaraku, agamaku, dan beragam tingkat posesif dari subyek. Kesepian adalah aksi isolasi subyektivitas. Kesepian adalah aksi mengisolasi ruang, memberi batas pada ruang. Kesepian adalah control terhadap apa dan siapa saja yang layak ditampung sebuah ruang.

Kesepian juga acap kali menjadi kondisi yang dianggap ideal bagi penciptaan karya estetik-seni-puitis. Kesepian adalah kesempatan bagi kulminasi gagasan yang sebelumnya berserakan untuk bermanifestasi. Kesepian membutuhkan ruang. Kesepian menyediakan ruang penciptaan. Pencipta kita adalah pencipta yang kesepian. Kita juga merupakan pencipta yang kesepian. Robot-robot dengan beragam bentuk dan kemampuan, virtual personalities, tamagochi adalah rupa-rupa ciptaan yang dating dari kesepian manusia. Kesepian juga merupakan kualitas yang terkadang dicari dalam kerangka peningkatan spiritualitas. Semedi, meditasi, berkembangnya kelompok-kelompok ‘new-age’, pecandu UFO dan fiksi ilmiah, satelit dan stasiun pengirim sinyal ke luar angkasa serta kepulangan-kerinduan pada kehidupan dan kesepian dicari, dikontrol, dibatasi. (Ilusi) pencarian pada yang ‘hakiki’, naturalistik dan transcendental seringkali dianggap lebih memungkinkan untuk diperoleh dalam kondisi kesepian. Kesepian merupakan bentuk dari kerinduan akan kehadiran yang lain, langkah-langkah pencarian menuju yang lain absolute (tuhan, agama, Negara, figure-ayah, dll).

Kesepian acap erat dengan kualitas yang dianggap negative. Ini merupakan anggapan yang lebih awam mengenai kesepian. Dalam kondisi ‘normal’-dengan segala tarik menarik politis dalam menentukan standar normal-mayoritas subyek akan menghindari kondisi dimana ia kesepian. Kesepian, secara mekanis, merupakan sebuah akibat dari kekosongan, ketiadaan. Penyebab kesepian adalah ketika subyek ditinggalkan. Kesepian adalah ketika subyek merasa ‘kosong’. Kesepian adalah kondisi ketika subyek disisihkan. Kesepian adalah kondisi ketika subyek tidak dianggap oleh subyek lain. Kesepian adalah kondisi ketika segala ekspresi subyek tidak dipahami oleh orang lain. Kesepian juga adalah kondisi ‘tanpa makna’. Subyek dianggap menceracau, segala tanda-penanda-petanda yang melekat pada subyek tidak bermakna atau sengaja diabaikan oleh subyek lain. Kesepian adalah kondisi adalah ketika subyek teralienasi. Kesepian juga adalah kondisi ketika subyek terkooptasi, terpaksa oleh yang lain. The Other telah menjadi monster. Kesepian adalah kondisi ekstrem, ketika subyek jauh dari subyek lain, subyek menjadi tersesat, hilang orientasi, orderless, anarkis, nomad, terisolasi, ghettoed, kosong, tidak terjangkau, berjarak, gapped dan ketika subyek dekat dengan subyek lain hingga subyek itu sendiri bahkan hilang, submisif, tertekan, berkurang, terkebiri, tak berdaya, terperas, tersubordinasi, terbuang, terasing, termakan, tersublimasi. Rindu tapi benci; demikianlah sikap subyek terhadap kesepian.
Kesepian merupakan paradoks subyektivitas, ia dihindari sekaligus dicari. Mempermasalahkan kesepian dan kota adalah mempermasalahkan ruang; ruang fisik dan ruang kesadaran. Dalam situasi ekstrem, kota menawarkan kondisi dimana kesepian tidak akan terjadi. Kota menyediakan banyak ruang, banyak kesempatan bagi subyek untuk berinteraksi dengan subyek lain. Semakin berkembang sebuah kota, semakin plural subyek-subyek yang terlibat di dalamnya. Pluralitas memberi kesempatan bagi pertemuan dan tatap muka antara subyek dengan yang lain (Levinasian). Kota tidak akan membiarkan ruang kosong tidak tersisi. Kota akan memanfaatkan setiap jengkel bagian dari dirinya untuk berperan dalam proses kehidupan kehidupan subyke-subyek di dalamnya. Pemanfaatan ini akan berlangsung secara horizontal, vertical dan virtual. Kota menyediakan ruang terbuka-open spaces- ruang dalam artian yang luas; ruang fisik, ruang politis, ruang kesadaran. Kota akan menjadi lahan bagi terciptanya public-sphere yang ideal. Sebuah topik yang telah menjadi klasik dalam memperbincangkan kota. Kota akan menjadi kehidupan itu sendiri, dinamis, kota menjadi ruang cerminan pertemuan antara ideology-ideologi. Kota akan menjadi cerminan dari peradaban yang dengan sendirinya akan dikenali karakternya sebagai representasi phallic, baik sebagai fisik/organ dan sebagai simbolik. Kota membawa pesona teknologi peradaban. Sebagai teknologi, kota memberdayakan subyek, kota menyediakan jalan bagi impian dan harapan subyek untuk menjadi nyata. Kesepian adalah ekses dari impian dan harapan subyek terhadap kota yang tidak berhasil menjadi nyata.

Kota adalah representasi phallic,melalui ideologi ,memberi ruang bagi   subyek untuk menentukan bermunculannya simbolik virtual dalam tatanan aktualitasnya. Bukankah ini merupakan cikal-bakal karakter terbelah (split) dari subyektivitas modern? Kota adalah representasi kemajuan, kekuatan, kesuksesan dan keuanggulan. Kota menjadi orientasi simbolik. Subyek mengaktualisasi dirinya, menempatkan dirinya pada dunia-simbolik-nya (Heideggerian) dan mulai berjarak dengan pemahaman subyek sebagai kesatuan ideal (ideal unity) dengan dunia-aktual-nya, ketiadaan (nothingness) jarak dengan dunianya, sebuah ruang kosong yang eksis (a void which exixts), tanpa kesadaran (no consciousness-bedakan dengan unconscious-), natural-perawan (laksana mitos taman firdaus penciptaan alam semesta). Kota hadir sebagai simbolik virtual yang menggoda, bahkan mendominasi subyek dalam proses identifikasinya. “Orang kota” akan berbeda dengan “orang desa”. Kota menjadi ‘Subyek’ besar (Althusserian) yang menghegemoni (Gramscian) sistem kesadaran subyek-subyek individual. “Mengada” sebagai ‘orang kota’ akan berbeda dengan “menjadi” ‘orang kota’. Sebagaimana layaknya terdapat perbedaan dalam pengertian being dan becoming. Sebagaimana pula kehidupan kota dapat dipahami dalam tataran aktualnya atau tataran virtualnya. Ruang fisik kota hendaknya tidak dipahami sekedar hasil dari proses satu arah pembentukan nyata (reification) dari ideology belaka. Pemahaman mengenai kota tidaklah sekedar secara intelektual-rasionalistik (seperti hanya kontras ala Mannheimian antara ideology dan utopia), pemahaman mengenai kota juga tidaklah secara materialistic (misal pada revivalisme Marxisme klasik ala Bourdieu). Kota dapat dipahami sebagai proses tarik menarik virtualitas yang intensif antara ‘being-becoming’ dan actual-virtual’ (Deleuzean). “Menjadi” ‘orang kota’ mengisyaratkan sebuah arah perubahan, transformasi, sebuah jalan setapak dari satu pardigma ‘bukan orang kota’ menuju ke paradigma lain ‘orang kota’. Seolah tak ada habisnya untuk membaca analisa-analisa mengenai kota-kota di Indonesia sebagai sebuah ‘kampung besar’. Sudah cukup lazim dipahami bahwa kemudian hal ini menjadi ‘identitas’ bagi kota kita. Sebuah identitas yang hendaknya dikritisi; karena setiap identitas mengandung ilusi. Terlebih lagi, apabila identitas ini dapat berubah-ubah; ‘orang kota’ di saat normal, dan ‘bukan orang kota’ di saat perayaan hari besar keagamaan. Dan ironisnya setiap perubahan identitas ini selalu meminta korban; korban jiwa; korban tubuh yang kongkret. Korban = Victim! Migrasi dari desa ke kota telah menjadi siklus godaan. Namun kemudian dianggap lumrah, sebagai bagian dari ritual perayaan. Korban = sacrifice! Akibat siklus godaan, terjadilah siklus kekerasan. Kehidupan keseharian di kota kemudian erat dengan kekerasan structural-ekses dari fantasi akan kota-. Kota menjadi site bagi siklus aliensi. Kota adalah site bagi siklus kesepian. Kesepian adalah kegagalan memperoleh phallic simbolik.
Sublimasi, tersedot-tenggelamnya subyek ke dalam kota merupkan hasil dari the impossible gap antara actual dan virtual, realita dan fantasi, dalam jalinan hasrat (desire) lapis-lapis subyektivitas. Kota seolah memanggil subyek, mengajak subyek untuk bergabung, memberi adrenalin kepada subyek, memberi semangat, mengumpulkan kekuatan untuk sukses; padahal sudah dimahfumi bahwa pesan rahasia sesungguhnya dari hasrat adalah:                “Hasrat tahu bahwa subyek untuk gagal mencapainya, selalu kurang,              selalu rakus, maka hasrat menggoda subyek untuk gagal dan hadapilah-bertanggungjawablah-nikmatilah semua lingkaran kegagalan ini sendirian. Ya! Sendirian !”. Kesepian. Subyek yang kesepian bertarung, bersaing dengan subyek kesepian yang lain. Subyek kesepian bekerja sama dengan subyek kesepian untuk kemudian bertarung dengan subyek-subyek kesepian yang lain. Kota adalah aktualitas kesepian. Kesepian yang hidup. Kesepian yang selalu berubah wajah. Kesepian dapat berubah menjadi kemarahan. Protes, demokrasi, aksi massa, kerusuhan, tawuran dan amok adalah derajat tingkat kesepian yang menjadi tindakan kemarahan. Marah adalah reaksi dari ketidakberdayaan subyek dalam lingkar kekuasan. Kesepian merupakan cerminan dari ketidakberdayaan. Kesepian merupakan ketidakmampuan. Ketidakmampuan untuk memaksakan makna. Ketidakmampuan untuk menjembatani antara being dan becoming. Ketidakmampuan memandang jurang tipis namun tak berdasar antara actual dan virtual. Kesepian dalam jargon berideologi kiri-materialistik: It’s lonely on the top, yes, but there’re hunger, anger and unspoken frustation on the bettom.
Jika kota (terutama kota kita di Indonesia!!) gagal dalam tataran aktual, subyek beralih pada interaksi dalam tataran virtual. Bermekarannya layanan komunikasi, pesan singkat, jajak pendapat, hotlines, merupakan puncak-puncak kehidupan masyarakat modern yang telah menjadi abstrak baik dalam pengalaman dan kesadarannya sebagai manusia. Ini adalah jenis masyarakat yang semakin kehilangan makna dan realitas. Ruang kebebasan semu dibalik semua akses layanan informasi tidaklah berbeda dengan fenomena-fenomena tataran ruang aktual. Gejala-gejala yang telah menjadi klise; seperti gated communities, berkembangnnya mall sebagai ruang publik, peningkatan orientasi pada moda transportasi kendaraan pribadi dan air-condition pada bangunan dan kendaraan, semuanya adalah upaya kehendak untuk mengatur batas antara privat-publik, interior-eksterior, dalam-luar dan upaya isolasi subyek terhadap dunianya. Dalam tataran virtual, hal-hal di atas setara dengan merebaknya kebutuhan akan kode PIN, password, registrasi, authorization, ‘nomor cantik’ dan sekian banyak perangkat abstrae lain yang diperlukan agar subyek berfungsi dalam batas-batas social. Bukankah ini semua adalah gejala-gejala yang ‘mengutuk’ subyek kepada kesepian? Terciptanya ruang-ruang ‘sisa’, laksana virus, beraksi secara nomadik, pedagang kaki lima, pengamen, pengemis, gelandangan telah pula menjadi subyek-subyek abstrak yang kesepian sejajar dengan penghuni apartemen-apartemen mewah, para anggota club house ekslusif dan mobilitas belanja para elite pemerintahan ke luar negeri.
Kesepian dalam masyrakat modern tercipta dalam tarik menarik dua arus besar, arus intelektualisasi dan arus primitivisasi. Intelektualisasi diartikan sebagai kecenderungan untuk berpikir dan berekspresi (melalui ucapan, tulisan, seni dll) dalam terminologi-terminologi model abstrak dan kategori formal, gemar bereksperimen dan menekankan perhitungan yang matang dalam setiap aksinya. Sementara itu primitivisasi diartikan sebagai kecenderungan untuk bersembunyi dalam slogan-slogan, mengorbankan kejujuran demi popularitas dan kepuasan emosional. Bukankah ini yang tercermin dalam media massa dan wajah kota kita? Pesatnya industri semu iklan, realityshow –yang mendistrosi realita-, segala rupa kontes dalam dimensi kehidupan, dll merupakan riak dari arus yang padat dengan slogan dan iming-iming terhadap segala hal yang terbaru, terkini, terbaik, terbesar dan ternikmat. Tawaran iklan kemewahan gaya hidup, eksklusivitas menghuni kompleks apartemen dan berkembangbiaknya publikasi-publikasi berbasis feng-shui merupakan cerminan iming-iming kenikmatan melalui ruang. Intelektualisasi justru seringkali menjadi alat dan sekedar bungkus dari primitivisasi. Komentar, wawancara dengan para pakar justru melanggengkan budaya lisan dan mengalihkan dari kebutuhan peradaban untuk semakin mengembangkan budaya membaca, menulis. Bahkan, dunia manusia-manusia kesepian terasa sudah membosankan hingga perlu menembus batas dengan ‘dunia lain’ sementara membiarkan jalan dan trotoar tertumpuk oleh sampah. Di satu sisi terdapat ketidakmampuan untuk menembus batas peradaban, di sisi lain terdapat pusaran kemerosotan untuk menembus batas nalar.
- - -
Pada awalnya adalah batas. Pada awalnya adalah kata. Pada awalnya hádala batas antara siapa yang memberi tanda dan bagaimana tanda mempengaruhi yang lain. Pada awalnya hádala batas subyektivitas. Dan tetap, problem kota dan kesepian hádala problem batas. Ini ádalah problem mengenai bagaimana memberi batas, bagaimana ,mengontrol batas. Selalu terjadi tarik menarik mengenai bagaimana memberi batas pada intensionalitas. Ini adalah problem desain. Bagaimana desain (kota) memberi batas namun tidak menghambat kebebasan dan kreativitas? Ini problem klasik. Ini problem abadi. Dan selalu ada saat yang tepat untuk selalu mempertanyakan mengenai definisi ruang dan definisi tempat mencapai relasi dengan tubuh dan subyektivitas. Hal ini di luar lingkup tulisan ini. Tarik menarik antara abstraksi cosmos dengan keterabaan topos ditengah dinamika chora (Plato, Aristóteles), ruangabsolut (Newton, Descartes) dengan ruang relatif (Leibniz), totalitas ruang transenden Kantian (point-position-place-region-space), berpulangnya produksi makna tempat pada mobilitas tubuh (Merleau-Ponty), temporalitas tempat (Heidegger), intimasi tempat-ruang-waktu-imajinasi kota (Bachelard, Calvino), jaringan rentang ruang kuasa tubuh (Foucault) dan carut marut batas kecairan-kepadatan ruang (Derrida, smooth-striated space-nya Deleuze&Guattari) adalah sebagian kecil deretan isntant peran dan makna batas dalam sejarah intelektualitas. Isu-isu mengenai bermukim v.s mobilitas, uncanny, unhomely adalah topik-topik relevan (meski pun mewah!) bagi pemahaman kota-kota kita di Indonesia. Kita menjadi semakin terasing, semakin berjarak dengan yang lain. Baik dalam tataran aktual mau pun virtual, kita semakin primitif dalam tentang horison intelektual. Selamat datang kesepian!
Dengan demikian, ungkapan di bawah ini menjadi semakin relevan bagi subyek segala kelas sosial dalam kota, dimana pun di dunia, global dan lokal; “The biggest disease today is not leprosy or tuberculosis, but rather the feeling of being unwanted, uncared for and deserted by everybody.”          Mother Theresia dalam The Observer 3 Oktober 1971.

Kesepian tidak akan menjadi terlalu sepi,                                              
karena subyek-subyek kesepian tidaklah sendirian…                       
Masihkah kota tergoda oleh kesepian,
setelah segala coreng-moreng yang diakibatkan olehnya?    

- - -
Menuliskan saran-saran dan strategi bagi terciptanya kondisi etis bagi kota dalam menyikapi kesepian adalah sebuah godaan bagi penulis ketika hendak menutup tulisan ini. Sebuah godaan untuk menetapkan sebuah norma                yang diharapkan dapat ‘membetulkan’ garis-bidang-ruang penanda. Sebuah godaan untuk menyimpulkan dan menjangkarkan tebaran relasi antara penanda kesepian dan kota ke dalam seperangkat jajaran nilai yang ‘seharusnya’ dilakukan. Normative. Fatwa. Sebuah godaan untuk berkuasa. Sebuah godaan untuk berimajinasi, berfantasi, menikmati ilusi akan gagasan sebuah kota yang ideal bagi subyek-subyek yang hidup di dalamnya. Sebuah godaan untuk menyusun seperangkat strategi untuk mencipta hal-hal yang menjadi idealisasi. Maaf, penulis tidak tergoda. Tergodakan Anda?
[end]