CP foundation main website
 
 
 
 

<< Seminar List

Kota dan Kita
By Bagus Takwin

Kota adalah tempat tak bertuan yang menjadi hak siapa saja; milik siapa saja sekaligus bukan milik siapa-siapa. Lebih jauh lagi, kota adalah wilayah terbuka tempat ketegangan dan harmoni terjadi bersamaan, tempat kebebasan sekaligus keterikatan menjadi penentu perilaku, tempat ketegasan dan tawar-menawar sama-sama punya peran. Paradoks dari kepemilikan kota berasal dari watak utamanya: percampuran, keberagaman dan keberdaban. Kota selalu merupakan kombinasi dinamis dari beragam fitur. Interaksi antar fitur membentuk dinamika kota, membentuk identitas kota yang tak pernah tetap.

Kita bisa menganalogkan kota dengan Diri manusia: sebuah identitas yang berkembang terus melalui identifikasi dalam dunia bersama. Kota seperti juga Diri adlah sebuah paradoks. Ia adalah sebuah identitas, sesuatu yang tetap, jelas batasnya dan selalu sama. Tetapi ia berkembang terus, propertinya bisa bertambah atau berkurang; orang-orang datang dan pergi; pembangunan gedung baru; peraturan baru; trend silih bergante; beragam aktivitas baru dan lama; wajah yang terus bergante paras. Bagaimana yang tetap dan sama bisa sekaligus berkembang terus?

Paradoks pengertian Diri bisa dijelaskan oleh teori kepribadian. Sedangkan paradoks pengertian kota butuh penjelasannya baru. Saya mencoba menjelaskannya dengan mengambil analogi pengertian Diri.

Diri merupakan subjek, Diri-yang-mengetahui, hádala kesadaran yang muncul dan tumbuh setelah bayi menyadari adanya orang lain sebagai Kau, Ibu yang ternyata identitas tersendiri, individu yang berbeda dengan yang lain. Ketika si bayi menyadari ibu adalah sebuah identitas tersendiri, sebagai Kau, maka si bayi pun menyadari dirinya sebagai identitas tersendiri, sebagai Aku. Kesadaran tentang Aku pada si bayi menegasi kebersatuannya dengan Ibu. Si bayi dengan kesadaran sebagai individu yang terpisah dari yang lain, sebagai Aku, menyadari dirinya sendiri, menyadari adanya Diriku (dalam Bahasa Inggris: Me). Jika Aku adalah subyek, maka Diriku adalah objek dari Aku, sebagai Diri-yang-diketahui.

Diri berkembang melalui identifikasi dalam dunia bersama. Identifikasi di sini diartikan sebagai proses mencermati an membanding-bandingkan orang lain yang ada disekitar untuk kemudian membentuk citra baru berdasarkan hasil perbadingan itu. Identifikasi berbeda dengan imitasi. Tidak seperti hasil imitasi yang serupa dengan orang ditiru, hasil identifikasi berbeda dengan pihak-pihak yang dicermati dan diperbandingkan; sesuatu yang berbeda meskipun sedikit banyak ada kemiripan denga orang lain yang diidentifikasi; sebuah citra yang bentuk kongkretnya tidak ada di kenyataan; sebuah proyeksi Aku di masa depan. Citra yang merupakan proyeksi ke masa depan menggerakan Aku tumbuh dan berkembang. Aku sebagai identitas memiliki ciri keberlanjutan, berbeda dari yang lain dan berkehendak. Diriku sebagai kontinum berubah dan berkembang; selain bisa mengalami progresi, bisa juga mengalami regresi. Aku yang berkelanjutan dan tetap mengembangkan atau menciutkan Diriku. Singkatnya, Aku, Diri sebagai subjek berkesadaran, mengeobjektivikasi diri sendiri, menjadikan Diriku sebagai objek untuk dicermati atau diabaikan, diperbaiki atau dirusak, dikembangkan atau diciutkan, didekati atau dijauhi.

Jika identitas diri adalah kesadaran untuk menegaskan pernyataan “aku adalah...”, maka seperti apakah kesadaran kota? Jika sang Aku adalah pemilik Diri, siapakah yang memiliki kota?

Pemahaman tentang asal-usul kota kita perlukan untuk menjawabya. Mari terlebih dahulu kita pahami asal-usul kota dalam peradaban manusia.

Sejarah mencatat bahwa kehidupan kota ---tempat pemukiman yang tetap dengan derajat kompleksitas tinggi--- tertua berlangsung di Kawasan Bulan Sabit Yang Subur (The Fertile Crescent). Nama Bulan Sabit secara denotatif merujuk kepada wilayah tepi sungai yang secara geografis memang berbentuk bulan sabit yang terentang antara Tigris dan Eufrat, Mesopotamia; sekarang Irak dn Syria Timur (Chant dalam Chant & Godman, ed., 1999). Peradaban ini bisa juga dikenal dengan Timur Dekat (Near East). Kegiatan perdagangan merangsang berdatangannya orang-orang ke daearh itu. Urbanisasi pertama terjadi di sana dengan perdagangan dan teknologi sebagai daya tariknya. Perdagangan dan teknologi saat itu merupakan sebuah lompatan peradaban yang menandai dimulainya peradaban yang didasari oleh negosiasi dan kesepakatan. Perang bukan lagi satu-satunya cara untuk mendapatkan daerah dan barang baru. Arkheolog yang selalu dirujuk ketika membahas Mesopotamia adalah V. Gorfon Childe (1892-1957) dengan tesisnya yang menyatakan bahwa teknologi yang mendorong terjadi ‘revolusi urban’ di Mesopotamia di Millennium ke-4 sebelum masehi. Teknologi pertanian dan penemuan roda merupakan dua faktor penting dari revolusi urban. Childe (1966) memaparkan bahwa tanah Mesopotamia yang subur dan peralatan untuk bercocok tanam yang membantu mereka mengolah tanah dengan lebih baik berbuah hasil panen yang berlimpah memenuhi kebutuhan akan makanan, bahkan berlebih sehingga mereka bisa menukarkannya dengan beragam barang dari berbagai tempat. Seiring dengan terpenuhinya kebutuhan pangan, kebutuhan mereka akan barang-barang lain meningkat dan memunculkan kebutuhan import. Hubungan dengan bangsa-bangsa lain terjalin pesat terutama dalam bidang perdagangan. Kebutuhan akan transportasi meningkat. Awalnya mereka menggunakan binatang. Lalu kebutuhan transportasi meningkat dan membawa mereka kepada penemuan roda. Childe menegaskan bahwa roda merupakan pencapaian puncak dari teknologi perkayuan pada masa itu. Kehidupan urban di Mesopotamia semakin Marak setelah penemuan roda. Perdagangan dan pertukaran teknologi semakin pesat. Pertemuan bangsa-bangsa di Mesopotamia makin memperamai kehidupan urban di Wilayah Bulan Sabit itu. Perang antar bangsa menyurut. Persoalan keamanan saat itu lebih banyak disebabkan oleh perampok yang ingin menguasai barang-barang dagangan di perjalanan. Dalam batas tertentu, persoalan keamanan ini mendorong para penguasa dari setiap bangsa yang berhubungan oleh teknologi ini menurut Childe berlaku juga dengan peradaban di tepi Lembah Indus, Mesir, Yunani dan Roma.

Tesis Childe teknologi sebagai pendorong revolusi urban banyak ditentang, di antaranya oleh Lewis Mumford, pelopor sejarah urban abad ke-20, dan arkeolog Robert McCormick Adams. Mumford (1996) berargumen bahwa unsur-unsur kota sebenarnya sudah ada dalam masyarakat rural. Pengalaman hiudp di masyarakat rural memberi pelajaran tentang pentingnya kehidupan bersama yang tertata, harmonis, adil dan beradab. Kesadaran itu yang mendorong orang membangun dan mengembangkan kota dengan kehidupannya yang berada dari tempat-tempat lain. Teknologi justru mereka hasil dari kesadaran hidup bersama itu. Adams (1966) menekankan bahwa variable sosial berperan paling besar dalam revolusi urban. Menurutnya data yang ada mendukung bahwa transformasi yang menghasilkan revolusi urban terjadi terutama dipengaruhi oleh organisasi social. Berdasarkan data dan falta arkeologis yang ditelitinya, tampak bahwa perubahan instituís social yang memicu dan memacu perubahan teknologi, pola hidup, budaza, agama dan bidang-bidang kehidupan lanilla, daripada sebaliknya.

Lepas dari perdebatan itu, kita mendapat insight dari kehidupan kota pertama bahwa perdagangan menjadi kegiatan yang mengurangi dan meredam perang. Teknologi menjadi media pertemuan antara pihak-pihak yang sebelumnya bertikai; produk yang menjanjikan kemungkinan baru bagi cara-cara manusia memenuhi kebutuhannya; harapan bahwa sumberdaya pemenuh kebutuhan manusia bisa diproduksi lebih mudah dan melimpah sehingga tak perlu sumberdaya yang ada Semarang diperebutkan melalui perang. Di sini perdagangan dan teknologi dapat dipahami sebagai perwujudan dari kesadaran manusia tentang (meminjam konsep Binswanger, 1963) keleluasaan-keleluasaannya untuk mengada (being-allowed-tobe). Sebelumnya manusia hanya menyadari kemampuan-kemampuannya untuk mengada (being-able-to-be) dengan memanfaatkan apa yang tersedia di alam atau dengan merebut apa yang dimiliki pihak lain dan menyadari keharusan-keharusan (imperative) untuk mengada (having-to-be) menghadapi batasan-batasan alam dan kekuasaan pihak lain terutama bagi mereka yang ditaklukan.

Kesadaran tentang keleluasaan untuk mengada merupakan dasar dari kehidupan masyarakat sipil (civil society). Keberadaan manusia yang Sejas lahir merupakan keberadaan di dunia bersama manusia lain bisa berkembang secara optimal hanya jika disertai oleh penerimaan akan keberadaan manusia lain sebagai subjek, sebagai uniqum yang tak dapat diperbandingkan dan setara satu dengan lanilla. Dengan menyadari bahwa dirinya hádala subjek yang memiliki keleluasaab untuk hidup bersama subjek lain mengatasi berbagai sengketa, seorang manusia bisa membina hubungan intersubjektif, menjaga keseimbangan antara kehendak bebasnya dengan manusia lain, mencapai kesejahteraan, mengembangkan dan melampaui dunia bersama. Kebersamaan yang memungkinkan dipertahankannya seubjektivitas dengan tujuan mencapai kesejahteraan bersama saya pahami sebagai pengertian masyarakat sipil.
Dari paparan tentang keberadaan kota pertama dalam sejarah dan dinamika kehidupan di dalamnya kita dapat memahami kondisi psikologis dan politis manusia saat itu. Kesadaran tentang hidup bersama manusia lain dan pemahaman akan kesetaraan manusia dalam batas tertentu mulai lahir di sini. Insight dari kota-kota pertama itu señalan dengan pengertian kota yang dijunjung oleh Lewis Mumford. Mengutif John Stow, Mumford (1937) menegaskan bahwa orang berhimpun dalam kota demi kejujuran dan harkat martabat yang baik. Sejak awal dua hal ini menjadi komoditi yang menarik orang tinggal di kota. Kebersamaan yang harmonis dan kerjasama yang adil, itulah yang ditawarkan oleh kota-kota di awal kemunculannya. Mumford berpostulat bahwa orang pertama yang tingla di kota menarik dirinya dari kehidupan liar dan buas untuk hidup secara halus, teratur dan beradab, serta  untuk mengembangkan kemanusian dan keadilan. Perilaku yang baik awalnya disebut sebagai urbanitas karena lebih banyak ditemui di kota ketimbang di tempat lain.

Tentu saja, Mumford dan juga Stow berbicara tentang kota yang ideal, kota yang terbayang dalam visi kemanusian, kota jauh dari apa terpapar dalam kenyataan saat ini. Stow mengomati kehidupan kota sebatas kehidupan para aristokrat, pedagang dan orang-orang Inggris terpelajar di masanya. Ini mengingatkan kita lepada Plato dan Aristóteles yang memandang dan memahami kebenaran. Bagi Plato dan Aristóteles, manusia hanya bisa mencapai tujuan hidup mencapai kebahagian jika dan hanya jika hidup bersama dalam kota. Pemimpin kota harus orang yang sudah memahami kebenaran, orang yang sudah mencapai kebahagian rasional agar dapat membimbing dan mengarahkan warganya ke arah sana. Sekali lagi ini merupakan visi ideal yang jarana terwujud dalam kenyataan.

Sejarah menunjukan, bahkan di Inggris seperti yang dipaparkan dalam novelnovel Charles Dickens, bahwa kehidupan kota bukan hanya milik kaum elit terpelajar atau mereka yang bisa menata kehidupannya karena semua kebutuhan fisiologis, rasa aman dan harga dirinya sudah terpenuhi. Kelas bawah dan orang yang tidak suka relajar ‘hidup beradab’ juga tinggal di sana. Kebanyakan kota mirip dengan gambaran masyarakat yang dipaparkan oleh Kart Marx, ada pertentangan kelas, ada pihak-pihak yang mendistorsi realitas demi keuntungan sendiri tak peduli pihak lain dirugikan. Marx menulis mágnum opus-nya Das Capital  di London, tempat yang juga banyak memberi inspirasi tentang pertentangan kelas dalam masyarakat. Belum lagi persoalan gender, pelacuran, eksploitasi tubuh perempuan dan ketidaksertaraan antara perempuan dan laki-laki di kota. Sejarah kota bukan melulu berisi hubungan social yang harmonis, percakapan yang pintar, dekat dan hangat serta kerjasama yang adil. Kota juga tercatat sebagai tempat berlangsungnya ketidakailan, kekerasan, eksploitasi, keterasingan, persengketaan, hiruk-pikuk yang mendesak penghuninya ke kondisi rentan gangguan kejiwaan.

Meski apa yang dipaparkan Stow dan Mumford tetap dapat kita lihat kenyataannya di beberapa kota, paparan itu tidak cukup lengkap untuk menggambarkan situasi kota dewasa ini. Kini kita saksikan kota-kota di dunia lebih banyak mengandung ambivalensi. Kita yang hidup di kota bisa menemukan bagian-bagian kota sebagai tempat yang tertib, bersih dan dilengkapi dengan peralatan canggih produk teknologi mutakhir. Namun, kita saksikan juga criminalitas, perilaku menyimpang, penyalah-gunaan narkotika dan zat psikotropika, serta beragam kerusuhan dalam kota. Jauh-jauh hari Brian Robson (1975), ahli geografi urban, sambil memamparkan wajah kota secara fisik sudah menyiratkan ambivalensi itu. Dalam paparan Robson, kota bukan sekedar kumpulan atau kombinasi citra tetapi memiliki arti social. Ada daya-daya social yang tak terindrai yang menggerakan antrian orang di tempat perbelanjaan, pasar yang hiruk-pikuk, kerumunan di halte bis, lalu lintas jalan raya, kehidupan kumuh, aktivitas di cantor-kantor, dan orang-orang tergesa-gesa. Justru koalitas-kualitas yang tak terindrai dari kota yang menjadikannya berbeda dari tempat lain. Kualitas-kualitas itu mewujud dalam pertentangan kondisi kota: kemewahan dan kemiskinan, kebersihan dan polusi, tradisi dan innováis. Kekunoan dan kebaruan, keteraturan dan penyimpangan, keriaan dan kemurungan, kebangkitan dari kejatuhan, keberlimpahan dan kekurangan, keguyahan dan konflik, kepekaan dan kepedulian, individualitas dan kolektivitas, pelayanan umum dan kesejahteraan yang mal, serta kebebasan individual dan ketergantungan kepada orang lain. Robson memaparkan kota sebagai sebuah ambivalensi yang kompleks, sebuah medan pertentangan antara banyak sifat dan tentu saja antara banyak pihak. Beragam kepentingan para penghuninya ádalah daya-daya yang sejak semula Siap bersitegang, baik secara interpersonal maupun intrapersonal. Siapa yang harus dimenangkan? Untuk siapa kota dibangun?

 Sekarang kita bicara lagi tentang kesadaran kota untuk mendapatkan pemahaman siapa si pemilik kota. Kembali asya menggunakan Diri sebagai analogi dari kota. Mari cermati Diri kita. Pada diri kita juga ada beragam daya yang bisa saling menguatkan, bisa juga bertentangan. Diri kita pun punyak banyaj sengketa, banyak pertentangan kehendak dan keinginan. Meminjam istilah Bakhtin dengan konsep Novel Polyphonik yang digunakan oleh Hubert J.M. Hermans (2001) untuk menjelaskan konsep Dialogical Self (Diri Dialogis), dalam Diriada banyak suara. Setiap suara bisa dianalogkan dengan setiap karakter dalam novel yang punya posisi, daya, arah dan keinginan tersendiri. Setiap karakter merupakan Aku tersendiri seperti juga setiap suara dalam Diri. Berbagai karakter berdialog, saling menyampaikan suara, saling mendukung atau bertentangan membentuk alur cerita novel. Hermans memahami Diri analog dengan novel yang punya banyak suara, Diri sebagai relasi multi-voice, hubungan antara beragam suara dengan beragam posisi pula. Suara-suara itu bersumber dari beragam pengalaman yang dialami individu dalam kesehariannya berinteraksi dalam lingkungan budayanya.

Hermans merumuskan Diri sebagai Diri Dialogis, Ia memandang Diri dan kebudayaan sebagai multiplicity (keberagaman atau kemajemukan) posisi tempat terjadinya hubungan-hubungan dialogis. Diri Dialogis didefinisikan sebagai “...a dynamic multiplicity of relativelyautonomous I positions” (Hermans, 1999:72). Menurut konsep ini, Sang Aku (I) memiliki kemampuan untuk bergerak secara special dari satu posisi ke posisi lainnya seiring dengan perubahan situasi dan waktu. Sang Aku berfluktuasi di antara posisi yang berbeda bahkan berlawanan. Setiap posisi Aku berupaya menyebarkan pengaruhnya. Contoh, Sang Aku dapat berada dalam posisi yang tidak membenarkan nyawa seseorang. Contoh lain, saya menerima kondisi yang ada secara realistic ketika membahas satu masalah dengan orang lain sambil tetap membayangkan sebuah kondisi ideal dalam imajinasi saya. Sang Aku memiliki kapasitas untuk mempertahankan secara imajinatif setiap posisi dengan sebuah ‘suara’ sehingga hubungan dialogis antara posisi dapat terjadi. Contoh, saya berbicara dengan bayangan saya di cermin yang saya bayangkan sebagai orang lain atau saya bercakap-cakap dengan gambar atau potret kekasih yang saya rindukan. Saya juga dapat bicara dengan nurani saya untuk menentukan apakah saya boleh melakukan tindakan tertentu atau tidak. Dialog juga dapat terjadi antara saya dan karakter dari buku atau film tertentu. Saya pun dapat berdialog dengan diri sendiri ketika sedang menulis sebuah cerita pendek. Setiap posisi tampil sebagai satu suara yang mengandung makna tertentu dan merupakan bagiab-bagian dari Diri saya. Dialog beragam posisi Aku membentuk Diriku (Me). Dialog yang terus menerus terjadi menjaga kesatuan Diriku, menjaga dari keterasingan terhadap diri sendiri dan dunia tempat Aku hidup. Dialog baik secara intrapersonal maupun interpersonal juga mengembangkan Diriku. Aku yang mencermati keragaman Diriku dan mempertemukan beragam suara di sana selalu berusaha menjaga harmoni Diriku. Aku yang bertinteraksi dengan dunia dan beridentifikasi dengan pribadi-pribadi lain mendapat banyak masukan yang memperkaya Diriku. Kesadaran Diri adalah kesadaran Aku yang dicapai melalui dialog-dialog antara beragam posisi Aku untuk membentuk dan menjaga kesatuan Diriku serta menjaga harmoni antara Diriku dan dunia. Analog dengan Diri, kota pun punya, punya beragam Aku yang bias saling mendukung, bias saling bertentangan. Setiap Aku merasa memiliki kota, berikhtiar untuk mempengaruhi watak kota, berusaha menjadikan kota sebagai wilayah kekuasaanku. Untuk menjaga keseimbangan dan mengembangkan kota diperlukan dialog beragam Aku yang ada di sana. Setiap suara perlu dipertemukan, berdialog dan menggunakan keleluasaannya untuk hidup bersama, mengembangkan diri sendiri dan kota. Kini kita saksikan beragam dialog kota. Di sana ada nilai norma, hokum dan kesepakatan, pengertian dan penghargaan. Seperti Diri yang sehat meleluasakan setiap suara untuk tampil dan memperkaya Diri secara harmonis, kota yang sehat adalah kota yang meleluasakan setiap Aku untuk memberikan pengaruhnya, memberi efek pada kehidupan perkotaan, mengembangkan kota sambil mengembangkan diri masing-masing.

Kesadaran kota adalah kesadaran bersama yang dicapai lewat beragam dialog antara semua Aku yang menjadi penghuninya. Kesadaran kota merupakan hasil kesadaran penghuninya terhadap kemampuan-kemampuan, keharusan-keharusan dan keleluasaannya untuk mengada. Kesadaran                ini juga saya tangkap dari dinamika kehidupan kota-kota pertama                          di Mesopotamia, Mesir, India, China, Yunani dan Roma. Ini juga yang ditegaskan oleh (Thompson, 2000:35) dalam eseinya Speculations on The City and the Evolution of Consciousness, “The city is not simply a location in space, but also a vehicle in time that can itself accelerate the evolution of consciousness.” Perdagangan, teknologi, hokum, ilmu pengetahuan, kesenian, olah raga, kehidupan beragama dan banyak lagi aspek kehidupan kota merupakan perwujudan dari kesadaran bersama para penghuninya sekaligus juga nantinya merupakan masukan-masukan yang memperkaya kesadaran kota. Semua itu merupakan buah dari kesadaran manusia terhadap keleluasaan-keleluasaannya untuk mengada yang pada prakteknya tampil dalam beragam dialog, negosiasi dan kesepakatan. Sebagai proses, kesadaran kota adalah dialog yang tak henti-henti antara para warganya. Kesadaran itu tertuang dalam biografi kota, dalam cerita tentang kota yang disusun oleh dialog beragam Aku para penghuninya.

Melengkapi Stow dan Mumford, juga menengahi pertentangan antara Childe dan para penyanggahnya, saya mengambil posisi bahwa revolusi urban pada dasarnya adalah revolusi kesadaran manusia terutama kesadaran tentang keleluasaan-keleluasaannya untuk mengada. Kesadaran ini yang kemudian menghasilkan teknologi, perdagangan dan kegiatan-kegiatan negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan serta menciptakan kesadaran bersama dalam kota. Jika kesadaran it uterus dijaga dan dikembangkan, kota akan terwujud seperti yang diidealkan Stow dan Mumford. Namun seperti yang kita saksikan belakangan ini, kesadaran itu tidak selalu terjaga, bahkan sering mengalami kemunduran sehingga bayangan idealisasi Stow dan Mumford tentang kota seringkali tak terwujud. Kota tak jarang menampilkan wajah suram, kebiadaban dan sengketa berdarah, menampilkan redupnya kesadaran manusia akan keleluasaannya mengada.

Lalu siapa pemilik kota?

Seperti yang saya tegaskan di awal, kota adalah tempat tak bertuan yang menjadi hak siapa saja. Bagi saya persoalan yang penting bukan siapa yang memiliki kota tetapi bagaimana menjaga dan mengembangkan kota sebagai kesadaran bersama untuk membentuk masyarakat sipil, membangun kebersamaan yang memungkinkan dipertahankannya subjektivitas dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Bagaimana menjadikan kota sebuah kebersamaan intersubjektif, menjadi kebersamaan dengan modus Kita? Itu persoalan penting yang perlu dipecahkan. Kebersamaan dengan modus Kita merupakan kebersamaan dengan cirri kesetaraan dan setiap pribadi tidak kehilangan subjektivitasnya. Di dalamnya, setiap pribadi diterima dan menerima pribadi yang lain sebagai uniqum, sebagai diri yang unik             dan tak dapat diperbandingkan. Berbeda dengan modus Kami yang menyamaratakan dan selalu menghadapkan kebersamaan terhadap Mereka, dalam Kita terkandung pengakuan asasi terhadap kebebasan eksistensial setiap pribadi dan selalu dimungkinkan adanya perbedaan-perbedaan di antara anggotanya. Kebersamaan dengan modus Kita terjadi tanpa memposisikan ‘yang lain’ sebagai Mereka, bertahan terus tanpa perlu ada ‘musuh’ bersama. Dengan kebersamaan demikian, setiap manusia dimungkinkan untuk menampilkan keunikannya, mengaktualisasi potensi-potensinya dan berkembang sebagai keberadaan yang melampaui dunia. Modus Kita sejalan dengan fakta manusia sebagai keberadaan di dunia bersama manusia lain, memanfaatkan kesadaran tentang keleluasaan untuk mengada. Kita dapat membawa individu kepada kebutuhan akan kehidupan bersama yang saling menghargai, merawat dan mengembangkan.

Kota dengan modus Kita merupakan dialog yang tak henti-hentinya, keterkaitan antar individu berdasarkan kepedulian, kebebasan yang mengembangkan diri sendiri dan orang lain. Kota sebagai Kita analog dengan Diri yang sehat, Diri yang terus membina dialog antara beragama posisi Aku untuk menjaga kesatuan Diriku, menerima masukan dari dunia, membina harmoni diri dengan dunia untuk mengembangkan Diriku dan Dunia. Kota sebagai Kita adalah kesadaran bersama untuk berkembang terus melampaui dunia dengan menghargai masa lalu, melayani masa kini dan bertanggungjawab terhadap masa depan. Kota sebagai Kita adalah masa depan yang terus memberi kita kesempatan untuk berharap bahwa peradaban manusia belum akan punah.***

 

Daftar pustaka :

Adams, R. McM. 1996. The Evolution of Urban Society: Early Mesopotamia and Preshispanic    Mexico. London: Weidefield and Nicolson.
Binswanger,L.1942/1963. Being-in-the-world. (Trans and ed. By Jakob Needleman.) New York: Basic Books.
Cassirer, E.1994. An Essay on Man. Yale University Press.
Chant,C. & Goodman, D.1999. Pre-industrial Cities & Technology. London: Routledge & The Open University.
Childe, V.G. 1950. “Urban Revolution”. Town Planning Review, Vol.21, no. 1, 3-17.
Childe, V.G. 1996. Man Makes Himself. London: Fontana (terbitan pertama tahun 1936).
Goldewijk,B.K. & Fortman, B.G. 1999. Where Needs Meet Rights; Economics, Social and Cultural Rights in a New Perspective. Geneva: WCC Publications.
Hassan, Fuad. 1974. Kita dan Kami; Dua Modus Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Bulan-Bintang.
Heidegger, M. 1957/1962. Being and time. New York: Harper & Row.
Hermans, H.J.M. 1996. “Voicing the self : From information processing  to dialogical interchange.” Psychology Bulletin, 119, 31-50.
Hermans, H.J.M.1999. “Dialogical Thingking and Self-innovation”. Culture & Psychology 5, 67-87. London: Sage Publications.
Hermans, H.J.M. 2001. “The Dialogical Self: Toward a Theory of Personal and Cultural Positioning.” Culture and Psychology, Vol 7243-281. London: sage Publications.
James, W.1890. The Principles of Psychology, reprinted 1993 Cambrige: Harvard University Press.
Massey, D., Allen, J., & Ple, S. 1999. City Worlds. London: Routledge & The Open University.
May, R (ed).1969. Existensial Psychology, New York: McGraw-Hill. Inc.
May, R. 1979. Psychology and The Human Dilemma. New York: W.W. Norton & Co.
Mumford, L. 1936. The City in History: Its origins, its transformation and is prespect. Harmondsworth: Penguin Books.
Mumford, L.1937. “What is city?” dalam LeGates, R.T. & Stout, F. eds. (1996), The City Reader, 184-189. London: Routledge.
Robson, B.T. 1975. “The urban environment”, Geography, Vol.60, 184-188.
Rosenberg, M.1979. Conceiving The Self. New York : Basic Books.
Senner, R. 1992. The Use of Disorder; Personal Identiy and City Life. New York:W.W. Norton & Company, Inc.