CP foundation main website
 
 
 
 

Media Coverage

  • Kompas, Minggu 18 September 2005


  • Perlawanan Seni Kaum Urban

    Sebuah ruang tamu rumah bordil yang kusam. Dinding-dindingnya ditempeli foto-foto seronok yang dicopot dari lembar-lembar Koran kuning. Beberapa orang seperti sedang bertransaksi, si perempuan mengenakan baju "tank top" dan perona pipi yang norak. Sementara si lelaki berkemeja lengkap dengan dasi dan kacamata hitam. Ruang itu hanya dibatasi tirai sekenanya, sehingga seorang tukang becak dan pedagang asongan segera dengan mudah tahu segala aktivitas di dalam.
    Apa yang segera terbayang dari lokasi, situasi, kebiasaan dan perilaku seperti itu? Ada ikon-ikon urban seperti dasi dan kacamata hitam, tetapi dipadukan dengan "kenorakan" dan fenomena social serta ekonomi masyarakat kelas "bawah".

    Itulah cara perupa Abdi Setiawan (Yogyakarta) menangkap perilaku kaum urban yang khas Indonesia. Karya berjudul "Rumah Bordil" itu dipasang dalam pameran berskala besar CP Biennale 2005 bertema "Urban/Culture", 5 September - 5 Oktober 2005 di Museum Bank Indonesia, Jakarta.

    Berbeda pula daya tangkap sekelompok seniman yang tergabung dalam kelompok Metromini (Jakarta). Mereka memasang karya berjudul "Don't Worry Be Happy", di mana para kambing duduk manis diatas wahana komedi putar. Berbeda dalam car ungkap tetapi substansinya tetap memperlihatkan semacam gugatan terhadap rumusan urban, yang senantiasa berasumsi tentang homogenitas sebuah masyarakat.

    Dalam 10 tahun terkahir pameran-pameran internasional selalu menggunakan platform bahwa 50 persen dari penduduk dunia adalah kelompok urban. "Karena itu kelompok ini menjadi penting, karena mereka berkuasa," kata curator CP Biennale 2005 Jim Supangkat.

    Asumsi homogenitas hanyalah mengandalkan petunjuk fisik. Jika di Amerika orang mengenakan celana Levi’s, sepatu Adidas, dan minum Coca-Cola, di Indonesia pun terjadi hal serupa. Soalnya adalah lapisan-lapisan "keserupa-an" dalam masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, ekonomi, dan perilaku, serta sejarah terbentuknya kaum urban yang berbeda dengan Barat.

    Boleh jadi secara fisik lapisan-lapisan di masyarakat Indonesia sama-sama mengenakan Blue Jeans dan minum Coca-Cola. Tetapi kenyataan itu tidak serata-merta bisa disebut urban. Karena jika menilik sejarah kelahiran kaum urban, pasca abad pencerahan di Eropa, mereka adalah termasuk kaum yang cozy, ingin tenteran, demokratis, melindungi dan menghargai hak orang. "Dari merekalah lahir etika, demokrasi dan peradaban," ujar Jim Supangkat. Mereka umumnya memilih hidup pada lingkungan - lingkungan sub-urban seperti residensi, yang berkesan ekslusif.

    Di Indonesia, karena kota selalu menjadi pusat segalanya, maka orang-orang yang tadinya berasal dari rural area (wilayah desa) dating sebagai kaum miskin di kota. Dan kota berkembang menjadi mega-city yang berlapis-lapis. Di situlah mulai terjadi pergesekan. "Kaum urban harus berhadapan dengan sopir angkot ujar Jim.


    Masalah Keadilan

    Sebagi jelamaan dari peradaban urban, para perupa kontemporer di Indonesia, sesungguhnya "hanya" melakukan sekadar refleksi ketika mereka mengungkapkan soal-soal urban. Masalahnya kesenian tidak bisa egois selamanya. Jika dalam lima tahun terakhir muncul kecenderungan para seniman Indonesia menggarap tema-tema social dan politik, itulah salah satu bukti peran sosial kesenian.

    Para seniman Indonesia memahami urban sebagai persoalan yang senantiasa bersinggungan dengan masalah keadilan. Mereka sangat concern terhadap masalah ketimpangan sosial seperti kemiskinan. Ini tampak pada karya Abdi Setiawan, Ong Hari Wahyu, Eko Prawoto, Budi Kustarto dan karya-karya fotografi dari Galeri Foto Antara.

    Tema-tema ini sangat menonjol dalam pameran yang digelar di gedung bekas Javasche Bank yang didirikan tahun 1828 itu. Hardiman Radjab dari Kelompok Metromini mengatakan kehidupan kota seperti Jakarta senantiasa dibayangi ketergesaan, kemacetan, demontrasi dan bahkan kriminalitas, "Tetapi don’t woory be happy…," kata Hardiman Rdjab. Karena itulah realitas kota di Indonesia. Mau tak mau, karena kita di sini maka hidup harus diteruskan di sini pula.

    Sepintas pandangan ini seperti menggampangkan soal. Sebenarnya mereka sedang melakukan retrospeksi. Keluhan bisa dating setiap hari tentang segala soal yang dianggap busuk, tetapi toh selama itu sedikit orang yang mencoba menghindar. Jadi, "don't worry be happy saja...," ujar Radjab.

    Pendapat senada dating dari para komikus yang tergabung dalam Akademi Samali Jakarta. Mereka menampilkan karya warung mie, gambar-gambar surealis, dan komik. "Kota besar ibarat berdiri di depan dunia yang menggelisahkan," kata Hikmat Darmawan dari Akademi Samali.

    Namun pada akhirnya kita harus berdamai. Stres misalnya yang selalu membayangi masyarakat kota, harus dijadikan semacam "metode" meraih sukses. Ada anggapan begini: how to deal with stress atau success with stress.

    Ong Hari Wahyu dan Komunitas Seni Nitiprayan (Yogyakarta) memiliki refleksi yang mirip dengan Abdi Setiawan. Dalam karya instalasi berjudul "Ruang Tamu", dia menggantung rentetan camilan, sampo dan bumbu masak di bagian depan ruang. Di bagian lain terdapat blek yang berisikan barang-barang kesayangan seperti sandal, kaleng Coca Cola, CD senam disko, boneka spongebob, kotak HP, serta benda-benda lain. Beberapa bagian dinding lain ditempeli foto-foto kenangan. Karya ini ibarat "museum" orang-orang miskin, yang memamerkan berbagai artefak kesayangan kaum ini.


    Tidak otomatis

    Contoh-contoh karya tadi sudah cukup mewakili sekitar 325 seniman yang ikut terlibat dalam pameran ini. Jim Supangkat menegaskan urban sama sekali tidak berarti kota. Bahwa memang orang-orang yang tinggal di kota disebut kaum urban, tetapi tidak otomatis mereka yang tinggal di kota termasuk kaum urban.

    Kalau setia dengan rumusan Barat tentang urban, maka di Indonesia hanya perilaku para selebriti itulah yang termasuk kaum urban. Tetapi realitas kota di Indonesia menampkkan sesuatu yang berbeda. Ada kaum yang sehari-hari mengenakan symbol-simbol urban, tetapi tidak memiliki kesadaran tentang demokrasi misalnya.


    - Edna Caroline dan Putu Fajar Arcana



    << Previous Article  |  List of Media Coverage  |  Next Article >>