CP foundation main website
 
 
 
 

Media Coverage

  • Kompas, Minggu 21 Agustus 2005

    CP Biennale
    Reaksi terhadap Dunia Urban


    Kurator CP Biennale 2005 Jim Supangkat secara tegas mengatakan perhelatan yang akan diselenggarakan antara 5 September - 5 Oktober 205 di Museum Bank Indonesia Jakarta itu bertujuan memberi kontribusi pemikiran seputar persoalan dunia urban. Di Indonesia soal ini sebenarnya berkaitan erat dengan apa yang disebutnya sebagai postcolonial studies.

    Keinginan itulah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa CP Biennale 2005 memasang tema "Urban/Culture". Dan tim curator termasuk curator tamu dari Taiwan, Shin Yi Yang, bergerak mengundang para peserta. Menurut Jim, untuk melihat keragaman reaksi serta mencari keutuhan pemahaman terhadap persoalan urban itu, CP Biennale tahun ini tidak saja menyertakan para perupa. Mereka juga mengundang fotografer, kartunis, arsitek bahkan perancang grafis.

    Turut diundang dalam acara dua tahunan ini antara lain fotografer terkemuka asal Jerman Peter Blalobrzeski dan Zhuang Hui dari China. Para perupa kontemporer terkemuka seperti CHoi Jeong Hwa (Korea), Fang Lijun (China) dan Masuda Hiromi (Jepang), juga telah menyatakan kesanggupan mereka.

    Indonesia sendiri akan diwakili 52 peserta, antara lain Agus Suwage, Ivan Sagito, Entang Wiharso, Jompet, Oscar Motuloh serta komunitas seperti Akademi Samali, Chomical Brothers, Pondok Seni Batu dan Metromini. Kalangan arsitek diwakili Archos, Eko Prawoto dan Sarjono Sani. Secara keseluruhan CP Biennale 2005 akan diikuti lebih dari 300 peserta.

    Spesifik;
    Dalam 10 tahun terakhir tema-tema urban acapkali muncul dalam pameran-pameran besar didunia. Sebagian besar pameran-pameran itu cenderung beranggapan persoalan-persoalan urban pada setiap kota memiliki kesamaan.

    Padahal pada galibnya bagi negara-negara bekas colonial di kawasan Asia dan Afrika, persoalan urban memperlihatkan persoalan-persoalan yang sangat spesifik.

    Di Indonesia masyarakat urban atau dikenal pula dengan istilah civil society, terbentuk pada akhir abad ke 19 bersamaan dengan perkembangan kota-kota di masa colonial.

    "Masyarakat pendukungnya adalah campuran pribumi dan Belanda," kata Jim Supangkat. Komponen pribumi memiliki peran besar bagi kesadaran hak-hak sipil yang dilihat sebagai kesadaran untuk merdeka. Di situlah terjadi perbedaan pandangan dengan kaum colonial yang menginginkan Indonesia menjadi daerah otonom.

    Dalam perkembangan berikut, kota-kota di Indonesia justru berkembang menjadi tempat penampungan kemiskinan. Kemiskinan telah berpindah dari desa-desa menuju kota akibat derasnya arys urbanisasi.

    Kecenderungan ini, kata Jim, lebih tampak sebagai pengkhianatan masyarakat kota terhadap masyarakat sipil itu sendiri. Pemusatan pertumbuhan di kota-kota membuat pengertian civil society di Indonesia berbeda dengan Eropa yang dilahirkan oleh Zaman Pencerahan.

    Dengan kata lain, sebagian besar kaum urban di Indonesia bukanlah orang-orang yang sadar akan hak-hak sipilnya. Mereka justru kalangan tak berdaya akibat problem kemiskinan.

    Realitas semacam itulah yang banyak ditangkap oleh para perupa Indonesia, setidaknya dalam lima tahun terkahir. "Apabila diamati, masalah-masalah social yang diangkat sarat dengan soal politik, kesenjangan social, dampak perkembangan ekonomi dan globalisasi, serta masalah-masalah yang muncul di kota besar," ujar Jim Supangkat.

    Hal yang menarik, Biennale tahun ini juga menyertakan karya-karya kolaboratif dari berbagai komunitas perupa, perancang grafis, arsitek dan kartunis. Pada komunitas-komunitas ini diharapkan muncul reaksi bersama terhadap persoalan urban. Dengan demikian, karya-karya itu setidaknya bias dijadikan semacam indikasi atau tanda-tanda social dari masyarakat terhadap berbagai fenomena di sekeliling mereka.

    Jim mengungkapkan CP Biennale 2005 lebih mengutamakan isi, semacam kontribusi pemikiran yang meneropong realitas social. Komponen artistic karya, tambahnya, tetap menjadi hal yang penting, "Tetapi tidak lagi utama. Sebab, bagaimanapun tataan artistic adalah hal pertama-tama untuk melihat pesan dibaliknya."

    By Putu Fajar Arcana



    << Previous Article  |  List of Media Coverage  |  Next Article >>

  •