<< Symposium Essays List
Untitled
Kuroda Raiji
Selamat siang, puan dan tuan.
Ini kali kedua saya berkesempatan bicara mengenai seni kontemporer Asia
di Jakarta. Pada 1995, saya pernah mengikuti seminar dalam suatu pameran
yang cukup menggairahkan: "Seni Kontemporer dari Negara-negara Non-Blok".
Meskipun ia berkerangka politis, saya memiliki kenangan baik tentang pameran
itu, di mana karya-karya yang kuat dan yang memberikan dorongan baru,
dikumpulkan dari negara-negara yang jarang tampil di pameran-pameran internasional
kala itu. Saya yakin hadirin saat ini tak ada yang ingat mengenai pendapat-pendapat
yang saya sampaikan saat seminar ketika itu, karena saya sendiri tak mengingatnya
dengan baik. Mungkin saya berbicara mengenai kemungkinan-kemungkinan seni
kontemporer di luar konteks museum atau galeri, terutama mengenai praktik-praktik
seni di jalanan, serta tentang kemungkinan seni kontemporer di luar kerangka
kerja sebagai pelengkap hubungan diplomatis.
Kini setelah delapan tahun, saya tak mampu mengelakkan diri untuk memerhatikan
perubahan situasi, baik di dunia seni Ero-amerika, Jepang, serta Asia.
Lebih tepatnya, hubungan antara para seniman serta kurator Asia dengan
seni arus utama Barat lah yang telah berubah, bukan seni Asia itu sendiri.
Jangan mengharapkan saya untuk mendebatkan hal ini lebih jauh. Saya seorang
idiot dalam hal teori. Saya belum membaca buku apa pun mengenai pascamodernisme.
Di sini saya hanya akan menghabiskan waktu presentasi saya untuk menunjukkan
slides dari pameran yang kami selenggarakan di Museum Seni Asia di Fukuoka
sejak 1999, yang mungkin akan memberikan bahan pikiran bagi para panelis
lain serta para hadirin untuk mempertimbangkan mengenai apa yang telah
dan belum berubah.
Ini tak berarti bahwa tak ada pameran seni kontemporer Asia lainnya di
Jepang dalam empat tahun terakhir. Ada beberapa contoh penting, termasuk
Trienale Yokohama, Trienale Tsumari, dan pameran-pameran yang diselenggarakan
oleh Japan Foundation, serta beberapa pameran lain yang diadakan oleh
museum-museum publik. Akan tetapi saya tidak berpendapat bahwa hal itu
merupakan tugas saya, karena di sini ada Tuan Tatehata, satu dari empat
kurator Trienal Yokohama, yang aktif bekerja di Tokyo. Saya yakin bahwa
Tuan Shimizu, moderator sesi berikutnya, dapat pula menyajikan pandangannya
mengenai contoh-contoh Jepang lain dalam menghadapi seni Asia. Karena
itu saya akan dengan cepat menyarikan apa yang telah kami lakukan di FAAM
(Fukuoka Asian Art Museum) sejak 1999.
FAAM diluncurkan dengan Trienal Fukuoka pertama pada 1999 sebagai pameran
pembukaan. Temanya saat itu adalah "Komunikasi: Saluran-saluran bagi
Harapan". Pameran tersebut menampilkan karya-karya 55 seniman dari
21 negara dan wilayah. Program pertukaran yang dilakukan saat itu sama
pentingnya dengan karya-karya yang dipamerkan, dan begitu banyak pertunjukan
serta workshops yang diselenggarakan, sehingga tak ada orang selain staf
museum yang dapat mengetahui tentang seluruh pameran, sampai waktu katalog
pameran diterbitkan. Dibutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk menerbitkan
katalog tersebut, dan katalog ini diterbitkan tak lama sebelum Trienale
berikutnya, Trienale kedua, jadi kami lega karena pameran kami bukanlah
suatu bienale. Pameran ini dipenuhi karya serta peristiwa yang pantas
dibicarakan dalam simposium ini, tetapi karena ada keterbatasan waktu,
saya akan berfokus pada Trienale Fukuoka kedua pada 2002.
Dalam Trienale kedua, tema dalam bahasa Inggrisnya adalah "Imagined
Workshop". Ini didasarkan pada judul buku terkenal karya Benedict
Anderson, "Imagined Communities", yang akrab bagi orang-orang
Indonesia, tetapi saya belum membaca buku tersebut (meskipun ia ada dalam
bahasa Jepang). Aspek lain dari tema tersebut secara retoris terwujud
dalam tema bahasa Jepang Trienale ini: Kataru Te, Musubu Te, yang berarti
"Tangan-tangan yang Bercerita; Tangan-tangan yang Menghubungkan".
Alasan dasar untuk mengambil tema ini adalah karena kami ingin berfokus
pada karya-karya handmade dan bukannya karya-karya yang terolah di komputer
atau film-film yang cukup umum serta selalu hadir di kebanyakan pameran
internasional, termasuk Trienal pertama kami. Pemikiran yang menjalin
ide "workshop" dengan "handmade" adalah "kolaborasi",
tapi kami memutuskan untuk tak menggunakan istilah tersebut, tidak hanya
karena orang-orang di Jepang tak akrab dengan istilah itu, tetapi juga
karena kami mengetahui kerumitan masalah kolaborasi. Kini setelah pameran
serta peristiwa-peristiwa yang dijalankan oleh para seniman yang diundang
usai, saya dapat lebih memahami bagaimana sulitnya kolaborasi dalam artin
yang sesungguhnya, dengan kesetaraan serta keterbalasan di antara para
peserta.
[workshop]
Adela Suleman, Pakistan
Ini dapat menjadi contoh yang baik bagi tema dalam bahasa Inggris kami,
karena karya ini secara harfiah berupa workshop yang terbayangkan ("imagined")
untuk menyiapkan sepeda-sepeda motor bagi pengendara perempuan serta anak-anak.
[kriya/seni]
Karya-karya dengan bahan serta teknik kriya tradisional menjadi bagian
penting dari seluruh pameran.
Pinaree Sanpitak, Thailand.
Lin Tienmiao, Cina.
Long Sophea, Kamboja.
Tashi Penjor, Bhutan.
Anoli Perera, Sri Lanka.
Nindityo Adipurnomo, Indonesia.
Ini adalah beberapa contoh karya kolaboratif antara para seniman kontemporer
dengan para perajin.
[partisipasi hadirin]
Apabila kita memerhatikan hubungan antara karya seni dan pemirsanya, karya-karya
berikut ini karena satu dan lain hal menggoda pemirsanya untuk menanggapi
obyek-obyek dalam situs nyatanya, bukannya dalam ruang situs webnya; dengan
menggunakan tangan dan tindakan, bukannya dengan mengetik atau meng-klik.
Sutee Kunavichayanont, Thailand.
Dengan cara menggosok-gosok, pemirsa karya ini menyalin citra-citra serta
kata-kata yang diukirkan pada meja-meja sekolah tua yang mewakili sejarah
pergerakan demokrasi Thailand.
Satish Sharma, India.
Di sini orang dapat memilih latar belakang serta benda-benda dan mengambil
foto mereka sendiri, baik di depan Taj Mahal atau pun bersama Osama bin
Raddin. Foto-foto tersebut ditambahkan pada karya selama pameran berlangsung.
Ini Tuan Jim Supangkat.
Yanagi Yukinori, Fukuoka, Jepang.
Karya Yanagi yang dibentuk menurut bentuk "bed merry" ini tampak
sederhana, dan merupakan satu karya yang paling populer selama pameran.
Karya ini mengajukan suatu konsep menantang mengenai mata uang Asia, seperti
Euro di Eropa. Para pengunjung dapat mengambil foto mereka dan mendapatkan
lembaran uang dengan cetakan wajah mereka. Mereka kemudian dapat membuat
bangau-bangau origami dengan cara melipat-lipat lembaran uang tersebut.
Ini adalah cara konvensional bagi orang-orang Jepang untuk memohon sesuatu.
Bangau-bangau origami tersebut ditambahkan pada karya selama pameran berlangsung.
[objek-objek berubah/objek-objek bertumbuh]
Karya ini terus berubah akibat tanggapan pemirsanya"
Noni Kaur, Singapura.
atau juga terus tersebarkan oleh para peserta workshop serta para seniman.
Ushijima Hitoshi, Fukuoka, Jepang.
[dari objek ke peristiwa]
Beberapa karya berfungsi tak hanya sebagai objek-objek yang dipamerkan,
melainkan juga sebagai pertunjukan yang menyerupai upacara.
Chuah Chong Yong, Malaysia.
Atau juga sebagai penerbangan layang-layang.
Soeung Vannara, Kamboja.
[pertunjukan]
Salah satu hal yang patut disesalkan dalam Trienale Fukuoka Kedua ini
adalah kurangnya seni pertunjukkan bila dibandingkan dengan Trienale Pertamanya.
Ini adalah satu contoh karya seniman Myanmar, dan menampilkan topeng-topeng
dalam instalasinya.
Tun Wing Aung, Myanmar.
[keterbalasan]
Chen Shaofeng, Cina.
Kediktatoran para seniman dengan kocak ditantang dalam karya Chen ini,
di mana potret-potret sang seniman yang dibuat oleh orang-orang desa seringkali
lebih menarik dibandingkan dengan potret-potret manusia yang dibuat oleh
sang seniman. Dalam workshop-nya, sang artis hanya dicat/digambar, tanpa
turut mengecat/menggambar.
[Masyarakat Tak Terlihat]
Jung Yeondoo, Korea.
Dalam proyek Jung Yeondoo dari Korea ini kami dua kali mengatur sebuah
ruang pesta dansa di museum. Ia mengambil ratusan foto para pasangan yang
menari, lantas memotong serta mencetak foto-foto tersebut dengan dibantu
oleh banyak relawan. Ia kemudian membuat suatu ruang dengan gambar-dinding
berupa para penari. Di sini banyak orang lagi-lagi datang untuk menari.
Para penghuni ruang pesta dansa tampak menikmati pesta-pesta dansa tersebut,
tapi saya tak yakin apakah mereka menonton bagian-bagian lain dari pameran
kami.
[Up and Down]
N.S. Harsha, India.
Lukisan yang luar biasa indah karya Harsha ini menurut saya dapat mewakili
sisi lain yang tak terduga dari pameran ini. Lukisan-tiga-panel ini dapat
dibaca sebagai sesuatu yang mengandung perspektif yang bertolak-belakang:
pandangan mendatar serta pandangan mata-burung; ketakterbatasan perbedaan
serta keutuhan terlukis; yang individual dengan yang kolektif; realitas
membumi dan mimpi bagi keberadaan bersama serta kolaborasi.
Pergeseran sudut pandang serupa dapat juga dilihat pada instalasi raksasa
di taman dekat Trienal ini. Instalasi tersebut hanya terpasang selama
lima hari. Di sini para pengunjung pertama-tama diminta untuk melihat
keseluruhan citra pohon dari suatu bangunan, dan memikirkan di mana mereka
ingin menambahkan dedaunan, lantas mereka turun ke taman lalu membuat
serta menambahkan dedaunan.
Seperti yang telah saya peringatkan, saya tak akan membawa anda mencapai
kesimpulan apa pun dengan contoh-contoh karya, peristiwa, serta proyek
yang dipamerkan tadi. Berbagai masalah kritis untuk menguji praktik-praktik
tersebut akan disampaikan oleh dua pembicara luar biasa dalam sesi ini,
dan kemudian oleh para hadirin.
Sebelum menutup pembicaraan, saya akan menunjukkan pada anda slides "Zero
Jigen", hanya untuk kesenangan anda, tanpa ada keterkaitan apa pun
dengan topik pembicaraan sesi ini, atau pun dengan apa yang telah saya
sampaikan di sini. Zero Jigen (Dimensi Nol) adalah suatu kelompok pertunjukan
penting di Jepang pada 1960an, yang telah saya teliti selama beberapa
tahun terakhir ini.
Saya harap anda dapat menikmati Zero Jigen meskipun anda tak dapat menikmati
paparan saya.
Terima kasih telah mendengarkan saya.
Kuroda Raiji
|